Man atsbata linafsihi tawadhu’an fahuwal mutakabbiru haqqan idzlaisat-tawaadhu’u illaa’an rif’atin famtaa atsbata linafsika tawadhu’an fantal mutakbbiru
Artinya : Barangsiapa yang merasa dirinya tawadhu’ (merendahkan diri), maka dengan demikian itu sebenarnya dia ialah orang yang sombong alasannya ialah tidaklah ada tawadu’ itu melainkan dirinya sendiri merasa tinggi. Maka apabila ada rasa tawadhu’ di dalam jiwa-Mu, maka berarti kau ialah orang yang benar-benar takabbur (sombong)”.
Di antara para ulama terdapat perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan kata tawadhu’. Akan tetapi walaupun berbeda-beda namun pada hakekatnya ialah sama saja, yakni yang berarti merendahkan diri.
Beberapa definisi di antaranya ialah :
------------------------------
1. Sikap tidak menganggap perbuatannya lebih tinggi dari yang lain.
2. Bersikap tenang, sederhana, sungguh-sungguh dan menjauhi perbautan takabbur (sombong), ganas, ataupun membangkang. Dan tawadhu ini merupakan salah satu (sifat) yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
◕3. Menurut Fadloil bin Iyyadh, Tawadhu’ ialah tunduk dan taat melaksanakan yang hak (benar) serta mau mendapatkan kebenaran dari siapapun.
4. Sedangkan berdasarkan Ibnu Taimiyah, hakekat tawadhu’ ialah mengambil kekuasaan yang hak (benar) dengan bersungguh-sungguh mencapainya, taat dalam menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar menjadi hamba Allah (bukan hamba orang banyak)
5. Bukan hamba hawa nafsu dan bukan lantaran imbas siapapun dan tanpa menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.
Adapun kebalikan dari perilaku tawadhu’ ialah takabbur. Di dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan, bahwa takabbur (sombong) itu ialah menolak hak (kebenaran), dan merendahkan orang lain.
Sedangkan akhir bagi orang-orang yang takabbur (sombong) ialah baginya tidak disediakan daerah sedikitpun di syurga.
Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Qoshosh ayat 83, yang artinya :
“Negeri alam abadi itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu ialah bagi orang-orang yang bertaqwa”.
Akan tetapi antara tawadhu’ dan takabbur ini memiliki perbedaan yang samara. Sehingga tanpa disadari terkadang orang yang tawadhu’ (mutawadli) pun bisa terjebak kedalam sifat takabbur. Hal ini bisa terjadi bilaman mutawadli’ itu merasa bahwa dirinya ialah orang yang tawadhu’. Sebab tidak ada orang yang merasa bahwa dirinya tawadhu’ melainkan perasaan itu timbul dari rasa sombong (takabbur).
Kembali kepada firman Allah dalam Surat Al-Qoshosh ayat 83, di atas tadi, disana bisa terlihat adanya hubunmgan yang seimbang (relevansi) antara kesombongan dengan perbuatan kerusakan di muka bumi. Dan memang hal ini sudah sering terbukti, di mana orang-orang yang sombong yang merasa dirinya paling kuat, paling pandai, paling ditakuti, dan sebagainya, berbuat kesewenang-wenangan berdasarkan kemauannya sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, merasa perbuatannya selalu benar, atau berbuat kerusakan di sana sini sekehendak hatinya sendiri lantaran merasa tidak akan ada orang lain yang berani menegur atau melarangnya.
Adapun sebab-sebab yang mengakibatkan seorang terjebak ke dalam sifat takabbur dan berbuat kerusakan di muka bumi di antaranya ialah :
1. Tidak adanya doktrin di dalam jiwanya.
2. Merasa memiliki kelebihan dibandingkan orang lain, ibarat lantaran kekayaannya, kedudukannya, kepandaiannya dan sebagainya.
3. Keinginan untuk di puji, di sanjung, dihormati, disayangi, menjadi sentra perhatian dan sebagainya.
Adapun obat untuk menyembuhkan penyakit takabbur yang bersarang di dalam (hati) itu antara lain :
1. Selalu merasa bahwa dirinya ialah sebagai hamba Allah yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan.
2. Membuka lebar-lebar pintu hati untuk dimasuki nasehat-nasehat yang baik dari siapapun juga tanpa memandang kepada yang memberi nasehat, tetapi memandang apa yang dinasehatkan kepadanya.
3. Banyak bercermin atau mengoreksi kesalahan dan kekurangan diri sendiri dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya.
Setiap orang seharusnya mengambil pelajaran dari tanaman padi, yaitu makin berisi makin merunduk. Makara apabila ada orang yang makin berisi kemudian makin tinggi mengangkat kepalanya biar setiap orang melihat atau memandangnya, maka demikian ini tidaklah sanggup disebut tawadhu’ . hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syadzili r.a. berikut ini :
“barang siapa merasa dirinya berharga (terhormat) maka baginya itu tidak dikatakan tawadhu’.
Juga Imam Yazid r.a. pernah menyampaikan :
“Selama hamba itu menyangka bergotong-royong dikalangan makhluq masih ada orang yang lebih jahat (jelek) dirinya, maka dia itulah orang yang sombong”.
Beberapa tanda atau cirri-ciri orang yang tawadhu’ yaitu “
1. Tidak murka atau sakit hati bila dicemooh orang lain.
2. Tidak merasa benci bila dikatakan sombong.
3. Tidak serakah pada pangkat atau kedudukan.
4. Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang dihormati dan disegani.
Baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits terdapat aneka macam anjuran-anjuran yang memerintahkan pada kaum muslim untuk senantiasa berlaku tawadhu’. Di antaranya ialah :
1. Dalam surat Al-Furqon ayat 63, yang artinya :
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang yang jahil mengajak bertengkar dengan mereka, mereka balas dengan ucapan yang bijaksana”.
2. Dalam surat An-Nahl ayat 23, yang artinya :
“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong (takabbur).
3. Dalam sebuah Hadits Riwayat Abu Nai’m yang bersumber dari Abu Hurairoh, yang artinya :
“Barang siapa yang bertawadhu’ lantaran Allah pasti Allah akan mengangkat derajatnya”.
Selain itu ada pula sebuah Hadits yang artinya :
“Apakah kalian ingin memberitahukan (mengenai) orang-orang yang diharamkan api neraka, atau api neraka yang diharamkan baginya?.
(Yaitu) api neraka itu haram bagi orang-orang yang bersahabat (kepada Tuhannya), merendahkan diri (kepada-Nya), lemah lembut dan taat”
Dalam hal tawadhu’ ini Ibnu Athilah pernah mengatakan:
“Hakekat orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) itu ialah apa yang dia lakukan itu diri penglihatannya akan kebesaran Allah dan kejelekan sifat-sifat-Nya”.
Lebih lanjut Ibnu At-Atho’illah menyampaikan :
“Tidak bisa mengeluarkan kau dari sifat sombong, kecuali (dengan) melihat sifat-sifat Allah”.
Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Atho’illah di atas. Sebab dengan hanya melihat kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah-lah (yakni dengan cara melihat dan memikirkan segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekitar kita), maka kita akan merasa, bahwa kita ini kecil, lemah hina, tidak memiliki apa-apa dan juga tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan dari-Nya.dan sebagai final dari pembahasan belahan ini, marilah kita tolong-menolong berusaha mentauladani akhlaq rasulullah yang berikut ini :
Beliau tidak segan-segan memberi salam kepada anak-anak, bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan mereka, sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi manja kepada beliau
Di dalam rumah tangganya, dia tidak segan-segan untuk menyapu, mencuci, memberi makan ternak, memeras susu kambing, berbelanja sendiri ke pasar, makan tolong-menolong dengan pelayan dan sebagainya.
Dalam bepergian dia tidak merasa aib untuk memberi salam terlebih dahulu walaupun kepada orang miskin atau kepada orang lebih gampang dari beliau.
Sebagai seorang Penglima Perang dia juga turut menciptakan bparit untuk pinjaman (ketika terjadi perang khondaq), ikut mencari kayu baker, memasak makanan dan sebagainya.
Sebagai seorang penguasa dia tidak mau dibeda-bedakan. Terhadap hal ini hal ini dia pernah bersabda, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mau melihat hamba-Nya di beda-bedakan, diantara sesame kawannya”.
Ketika kedatangan tamu, dia sendirilah yang menerima, melayani dan menyuguhkan hidangan untuk tamunya
Dalam sebuah pertemuan, dia tidak mau duduk di daerah yang diistimewakan, tetapi bercampur dengan kebanyakan orang. Dalam hal ini dia bersabda, yang artinya :
“Wahai kalian semua, Allah telah (terlebih dulu) mengambil saya sebagai hamba-Nya sebelum Dia mengambil Nabi dan Rasul-Nya”.
Apabila melaksanakan perjalanan tolong-menolong sahabatnya. Beliau tidak mau berjalan paling depan, juga tidak mau diiringkan. Ketika ada sahabatnya yang memintanya untuk berjalan paling duluan, dia menyampaikan :
“Biarlah dibelakangku ada malaikat yang mengikuti”.
Apabila mendapat undangan, dia selalu menyempatkan diri untuk hadir, walaupun yang mengundangnya itu dari kalangan orang miskin atau orang yang tidak berkedudukan.
Beliau tidak segan-segan untuk bergaul dengan siapa saja dan duduk-duduk bersama mereka tanpa memandang status dan kedudukannya.
Pakaian yang dikenakannya tidak pernah lebih elok dari yang digunakan sahabt-sahabatnya.
Jika bersenda gurau, dia selalu memakai kata-kata yang baik dan tidak pernah tertawa dengan terbahak-bahak, melainkan dengan tersenyum saja.
Apabila ada pengaduan dari umatnya, maka dia akan memperhatikannya dengan teliti dan akan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.
Demikian akhlaq terpuji yang telah dicontohkan Rasulullah. Mudah-mudahan kita semua sanggup mentauladaninya.
0 Response to ":: Antara Tawadu’ Dengan Takabbur .."